Wednesday, February 1

Rasa yang Pas


Judul Buku: Filosofi Kopi (Kumpulan Cerpen dan Prosa)
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Tahun Terbit: 2009 (Cetakan IX)
Jumlah Halaman: 134

Sejak mulai suka membaca cerpen, konsumsi saya biasanya cerpen Islami di majalah Annida, Ummi, Saksi, dan sejenisnya. Pernah juga membaca cerpen-cerpen dari majalah wanita lain, atau koran mingguan, tapi belum menemukan yang ‘pas’ cara penyampaiannya menurut saya. *Tolong abaikan komen yang ini, secara saya bukan siapa2 gitu loh ^_^* Buku kumcer dari Dee ini memperlihatkan kepada saya satu bentuk cerpen ‘bernilai’ yang tidak harus diceritakan dalam kaitannya dengan agama, walaupun nilai yang diusung pastilah berhubungan dengan agama, selama ia adalah nilai kebenaran universal.

Ada beberapa cerita yang menarik dalam kumcer ini. Yang paling saya suka adalah Filosofi Kopi itu sendiri. Bercerita tentang dua orang sahabat, Ben dan Jody, yang membuka kedai kopi. Ben sudah menempuh perjalanan ke beberapa negara, mengunjungi hampir setiap kedai kopi yang bisa ia temukan, hanya untuk mempelajari cara membuat kopi yang enak. Ben sangat terobsesi untuk membuat kopi paling istimewa di seluruh dunia. Menurutnya, pesanan kopi dari seorang pelanggan, akan menunjukkan karakter diri sang pemesan. Karena kepuasan pelanggannya terhadap ‘ramalan’ Ben, akhirnya mereka berdua mengganti nama kedai kopinya menjadi “Filosofi Kopi”. Pada suatu ketika, Ben mendapatkan tantangan dari seorang pengunjung untuk membuatkan kopi yang bertema ‘kesuksesan’ dengan imbalan 50 juta. Berhasilkah Ben menyelesaikan tantangan tersebut? Hingga pada suatu hari seorang first timer mampir ke kedai kopi mereka dan memporakporandakan tujuan hidup Ben. Pengunjung ini menilai kopi buatan Ben dengan predikat ‘LUMAYAN’. Ben dan Jody sampai memutuskan untuk menutup kedai kopi mereka demi mencari sang pembuat kopi dengan predikat yang lebih enak daripada ‘LUMAYAN’, yaitu segelas kopi thiwus dari sebuah desa di daerah Klaten. Berhasilkah mereka menemukannya? Lalu akankah kedai kopi ini berlanjut? Endingnya sungguh luar biasa, paling tidak menurut saya. Mengajarkan pada kita bahwa lebih banyak hal yang bermakna daripada segepok uang dan harga diri palsu. Tobh daaaaahhh...

Cerita lain berkisah tentang perjalanan seorang gadis, Hera yang mencari Herman. Sulit sekalikah mencari seseorang yang bernama Herman di muka bumi ini? Hera sampai harus terbang ke luar negeri dan meninggalkan kuliahnya, demi mencari Herman. Sungguh takdir tak bisa diduga, saat akhir hidupnya ia melakukan kesalahan yang besar: bertemu dengan Herman.

Dee juga menuliskan beberapa fiksi singkat di buku ini: Salju Gurun yang bercerita tentang kesendirian di tengah keramaian, Kuda Liar yang bercerita tentang keinginan untuk bebas, Cuaca yang membicarakan tentang metafora perasaan yang terkadang berbohong, dan lainnya.

Di buku ini Dee menegaskan bahwa menulis adalah proses. Buku ini adalah kumpulan dari cerpen tulisannya selama sepuluh tahun sejak 1995. Ia ingin menegaskan bahwa tulisannya bukan ‘aji mumpung’, hanya kebetulan saja ia ditakdirkan terlebih dahulu terkenal sebagai penyanyi.

Pada akhirnya, saya bisa mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya sangat suka buku ini. Anda juga bukan? 


No comments:

Post a Comment