Thursday, February 2

Berdiri di Atas Kaki Sendiri


Judul Film: Ocean Heaven
Pemain: Jet Li, Zhang Wen, Lunmei Kwan
Tahun rilis: 2010
Sutradara: Xue Xiaolu
Produser: William Kong, Hao Lee, Ma Hefeng

Film ini bercerita tentang kekuatan hubungan Ayah dan Anak. Ini adalah film drama pertama yang dibintangi oleh Jet Li. Dalam film ini juga kita bisa belajar banyak tentang kasih sayang, kesabaran dan semangat pantang menyerah, selain juga menerima kelebihan dan kekurangan seorang penderita autistik. Film ini dimulai dengan cerita menyedihkan dimana sang ayah ingin menenggelamkan dirinya beserta anaknya ke dasar samudera. Ia mengikat kakinya dengan batu sebagai pemberat, tapi anaknya yang tidak faham apa-apa, berusaha sekuat tenaga untuk berenang, dan mereka selamat.

Sam Wong (Jet Li) hampir putus asa, ia mengkhawatirkan anaknya. Dengan penyakit kanker ganas yang dimilikinya, ia masih harus mengurus anaknya, Dafu (Zhang Wen) yang mengidap autistik. Hingga usianya sekarang 20 tahun, Dafu masih harus dibantu dalam melakukan banyak hal. Sam harus segera menjadikan Dafu mandiri, untuk persiapan kelak jika dirinya meninggal dunia. Dengan sabar ia melatih Dafu: memasak, naik kendaraan umum dan menghafal jalan, memakai dan melepas pakaian, bekerja, membereskan rumah, dan lain sebagainya. Berulang kali ia menekankan pada Dafu, bahwa pada suatu hari nanti ayahnya akan pergi selamanya, dan Dafu harus tetap menjalani kehidupannya sendiri. Banyak scene mengharukan saat Dafu harus frustasi karena kesalahan yang dilakukannya. Misalnya saat ia harus naik kendaraan umum sendirian dan ternyata menyebabkan keributan, atau saat masak dan tidak berhasil memecahkan sebutir telur, atau saat bekerja. Sam bekerja di sebuah aquarium air laut di dekat rumahnya. Karena Dafu sangat mahir dalam berenang, ia seringkali mengikuti Sam ke tempat kerjanya. Dafu diberikan satu tanggung jawab dari tempat kerja Sam, yaitu memberi makan ikan sambil berenang. Dafu sangat suka ‘berbicara’ dengan hewan. Pada satu ketika saat ayahnya hampir tenggelam, Dafu memanggul ayahnya. Sejak itu, Sam menanamkan pada Dafu bahwa kelak ayahnya akan pergi dan menjelma menjadi penyu, untuk terus berada di samping Dafu.

Karena kondisinya yang semakin parah, Sam mulai mencari alternatif tempat tinggal untuk Dafu. Ia menelpon beberapa panti asuhan, namun tidak ada yang mau menerima karena usia Dafu yang sudah dewasa. Saat hampir putus asa, Sam kembali ke sekolah lama Dafu dan memohon mereka untuk mengurus Dafu kelak jika ia sudah tidak ada. Ikatan yang sudah terbentuk antara Ayah-Anak itu, membuat Dafu sempat mogok saat ditinggal sendirian di rumah penampungan tersebut. Ia bahkan tidak mau disentuh orang lain untuk sekedar menggantikan bajunya. Dengan berat hati Sam akhirnya ikut tinggal di tempat tersebut dan perlahan melatih Dafu kembali.

Dafu juga mengalami satu kisah cinta di lokasi kerja Sam. Pada satu ketika, Dafu bertemu dengan Ling Ling (Lunmei Kwai ) yang bekerja sebagai seorang badut di sirkus dekat aquarium ayahnya. Dengan caranya sendiri, ia jatuh cinta pada Ling Ling. Namun sayang, karena habis masa kerjanya, Ling harus mengikuti rombongan sirkusnya untuk pindah ke tempat lain. Sebelum pergi, Ling Ling mengajarkan Dafu untuk berbicara melalui pesawat telepon.

Bagaimanakah ending dari film ini? Bisakah Dafu menerima tentang konsep kematian yang ditanamkan oleh Sam? Lalu bagaimana cerita hidup Dafu selanjutnya? Silahkan cari dividi-nya ato bisa gugling untuk donload ^_^

Kelebihan film ini adalah pada nilai-nilai implisit yang diangkat. Cinta. Tema abadi sepanjang masa, tak lekang zaman dan tak kenal usia. Cinta seorang ayah terhadap anaknya, cinta seorang manusia terhada sesama, dibungkus rapi dan ditampilkan dengan haru dalam film ini. Satu catatan penting untuk para orang tua. Kita harus sadar bahwa kita tidak akan hidup selamanya. Seorang anak memang akan bersandar pada orang tuanya, namun orang tua harus mengajarkan bahwa seorang anak harus berdiri di atas kakinya sendiri, menjadi mandiri sebenar-benarnya.

Kekurangan film ini? Ga ada actionnya, hehehe... Kerenlah pokoke ^_^



»»  Selengkapnya...

Wednesday, February 1

Rasa yang Pas


Judul Buku: Filosofi Kopi (Kumpulan Cerpen dan Prosa)
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Tahun Terbit: 2009 (Cetakan IX)
Jumlah Halaman: 134

Sejak mulai suka membaca cerpen, konsumsi saya biasanya cerpen Islami di majalah Annida, Ummi, Saksi, dan sejenisnya. Pernah juga membaca cerpen-cerpen dari majalah wanita lain, atau koran mingguan, tapi belum menemukan yang ‘pas’ cara penyampaiannya menurut saya. *Tolong abaikan komen yang ini, secara saya bukan siapa2 gitu loh ^_^* Buku kumcer dari Dee ini memperlihatkan kepada saya satu bentuk cerpen ‘bernilai’ yang tidak harus diceritakan dalam kaitannya dengan agama, walaupun nilai yang diusung pastilah berhubungan dengan agama, selama ia adalah nilai kebenaran universal.

Ada beberapa cerita yang menarik dalam kumcer ini. Yang paling saya suka adalah Filosofi Kopi itu sendiri. Bercerita tentang dua orang sahabat, Ben dan Jody, yang membuka kedai kopi. Ben sudah menempuh perjalanan ke beberapa negara, mengunjungi hampir setiap kedai kopi yang bisa ia temukan, hanya untuk mempelajari cara membuat kopi yang enak. Ben sangat terobsesi untuk membuat kopi paling istimewa di seluruh dunia. Menurutnya, pesanan kopi dari seorang pelanggan, akan menunjukkan karakter diri sang pemesan. Karena kepuasan pelanggannya terhadap ‘ramalan’ Ben, akhirnya mereka berdua mengganti nama kedai kopinya menjadi “Filosofi Kopi”. Pada suatu ketika, Ben mendapatkan tantangan dari seorang pengunjung untuk membuatkan kopi yang bertema ‘kesuksesan’ dengan imbalan 50 juta. Berhasilkah Ben menyelesaikan tantangan tersebut? Hingga pada suatu hari seorang first timer mampir ke kedai kopi mereka dan memporakporandakan tujuan hidup Ben. Pengunjung ini menilai kopi buatan Ben dengan predikat ‘LUMAYAN’. Ben dan Jody sampai memutuskan untuk menutup kedai kopi mereka demi mencari sang pembuat kopi dengan predikat yang lebih enak daripada ‘LUMAYAN’, yaitu segelas kopi thiwus dari sebuah desa di daerah Klaten. Berhasilkah mereka menemukannya? Lalu akankah kedai kopi ini berlanjut? Endingnya sungguh luar biasa, paling tidak menurut saya. Mengajarkan pada kita bahwa lebih banyak hal yang bermakna daripada segepok uang dan harga diri palsu. Tobh daaaaahhh...

Cerita lain berkisah tentang perjalanan seorang gadis, Hera yang mencari Herman. Sulit sekalikah mencari seseorang yang bernama Herman di muka bumi ini? Hera sampai harus terbang ke luar negeri dan meninggalkan kuliahnya, demi mencari Herman. Sungguh takdir tak bisa diduga, saat akhir hidupnya ia melakukan kesalahan yang besar: bertemu dengan Herman.

Dee juga menuliskan beberapa fiksi singkat di buku ini: Salju Gurun yang bercerita tentang kesendirian di tengah keramaian, Kuda Liar yang bercerita tentang keinginan untuk bebas, Cuaca yang membicarakan tentang metafora perasaan yang terkadang berbohong, dan lainnya.

Di buku ini Dee menegaskan bahwa menulis adalah proses. Buku ini adalah kumpulan dari cerpen tulisannya selama sepuluh tahun sejak 1995. Ia ingin menegaskan bahwa tulisannya bukan ‘aji mumpung’, hanya kebetulan saja ia ditakdirkan terlebih dahulu terkenal sebagai penyanyi.

Pada akhirnya, saya bisa mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya sangat suka buku ini. Anda juga bukan? 


»»  Selengkapnya...

Tuesday, January 31

Aku Punya Hak terhadap Diriku Sendiri


Aku Punya Hak Terhadap Diriku Sendiri

Judul film: My Sister’s Keeper
Pemain: Sofia Vassilieva, Cameron Diaz, Abigail Breslin, Alec Baldwin
Sutradara: Nick Cassavetes
Tahun rilis: 2009
Genre: Keluarga
Diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Jodi Picoult (2004).


***


Saya menonton film ini saat tahun pertama mengajar di kelas 8-9 middle school. Rekan kerja saya adalah seorang guru sains, dan kebetulan saat itu sedang mengajarkan anak-anak tentang rekayasa genetika.  Kemudian ia merekomendasikan film ini, walaupun memang bukan film saintifik dan tidak banyak berkaitan, tapi cukup baik untuk membuat anak-anak tertarik terhadap pelajaran. Kisahnya memang rekaan, tapi sangat mungkin terjadi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kita. Desas desus yang pernah saya dengar dari teman saya ini sih, di Amrik sana sudah ada kloning untuk manusia –mirip dengan kisah yang diangkat dalam film ini– walaupun mengalami penentangan luar biasa dari berbagai kalangan. Untungnya, sebagaimana film bergenre keluarga lainnya, tidak ada kegiatan seksual yang terekspos di film ini, hanya kissing.


Anna Fitzgerald (Abigail Breslin) terlahir dari rekayasa genetika di dalam laboratorium, istilah kerennya,  bayi tabung. Tidak seperti proses bayi tabung lain yang dilakukan karena sulitnya terjadi pembuahan antara sperma dan ovum, Anna terlahir direncanakan. Ia direncanakan menjadi spare part- cadangan tubuh untuk kakaknya, Kate Fitzgerald (Sofia Vassilieva) yang mengidap penyakit Leukimia akut. Untuk mendapatkan zigot Anna, orang tua Kate telah melakukan berkali-kali pembuahan invitro (di dalam laboratorium), dan membuang puluhan zigot lain  yang diketahui tidak cocok dengan DNA Kate. *Padahal sesungguhnya setiap zigot yang tertanam dalam rahim pun adalah pilihan, sperma pemenang yang berhasil menjuarai kompetisi dengan sperma lain untuk membuahi sang ovum.*


Sejak masih bayi, Anna sudah bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup kakaknya. Belasan operasi sudah ia jalani dalam rangka menolong kakaknya ‘memperpanjang usia’. Beberapa kali ia juga melakukan transfusi darah, menerima puluhan suntikan di berbagai anggota tubuhnya, demi Kate.  Pada usianya yang ke 11, ia diminta untuk mendonorkan satu ginjalnya karena Kate divonis gagal ginjal. Operasi yang akan berdampak cukup serius bagi Anna, dan belum menjamin akan bisa menolong Kate. Kehilangan satu ginjal akan membuat Anna kelak terbatas dalam beraktivitas, lebih jauh lagi, ia sangat mungkin akan kesulitan memiliki anak. Anna berontak. Ia dengan dibantu kakak angkatnya, Jesse, menyewa seorang pengacara Campbell Alexander (Alec Baldwin) untuk menuntut kedua orang tuanya. Ia ingin mempunyai hak memutuskan tindakan medis apa yang akan ia ambil terhadap tubuhnya (medical emancipation). *Sebenarnya saya membayangkan pergolakan batin yang dirasakan Anna, antara rasa sayang terhadap kakaknya dan rasa peduli terhadap dirinya sendiri. Sayang hal ini kurang dieksplor di dalam film.*


Ibu Anna, Sara (Cameron Diaz) yang merupakan mantan pengacara, memutuskan untuk mewakili dirinya sendiri dalam ‘melawan’ tuntutan anaknya. Sara beberapa kali mengajak Anna berbicara dari hati ke hati tentang hal ini, memintanya untuk membatalkan tuntutan dan merelakan ginjalnya untuk Kate. Anna tetap menolak, bahkan ia semakin marah pada ibunya. Dengan bahasanya sendiri ia meminta ibunya untuk juga memandang kepentingannya, tidak melulu tentang Kate. Padahal di sisi lain, Anna dan Kate adalah saudara kandung yang sangat akrab. Dengan adanya tuntutan itu pun, keakraban mereka tidak berubah. Anna pun tetap dengan sepenuh hati mendampingi Kate melawan rasa sakitnya, merawatnya di rumah maupun menemani di rumah sakit. Sungguh Anna sayang Kate. Ia melayangkan tuntutan itu bukan karena ia lelah menjadi spare part, tapi ternyata sebaliknya yang terjadi. Apa alasan utama Anna mengajukan tuntutan, lalu apakah ia akan memenangkannya? Apa yang terjadi pada Kate selanjutnya? Bagaimana pula nasib Jesse yang seakan tidak dianggap dalam keluarga mereka? Temukan jawabannya saat menonton film ini ya ^_^


Walaupun memiliki sedikit perbedaan dengan novelnya, film ini sangat menyentuh. Kekuatan akting Anna, Kate dan Sara mengombang ambing perasaan penonton. Di satu pihak kita akan merasakan perjuangan pantang menyerah seorang ibu demi kesembuhan anaknya, di pihak lain akan jelas tergambar ketulusan pengorbanan seorang adik, dan rasa sayang seorang kakak. Drama keluarga yang dibungkus dengan sangat ciamik oleh sang sutradara. Sangat wajar jika Abigail, Cameron dan Sofia sebagai pemeran Anna, Sara dan Kate mendapat beberapa penghargaan dalam bidang akting melalui film ini.


Sedikit hal yang mengganggu adalah tentang peran Ayah yang tidak terlalu ditonjolkan di film ini. Ada, tapi terlalu dominan peran sang ibu. Tentang penokohan anak pertama mereka, Jesse, pun agak mengganggu. Jesse memang anak angkat. Saking sibuknya dengan Kate, orang tua mereka tidak sadar bahwa Jesse mengalami disleksia. Hal ini sebenarnya cukup bagus untuk dijadikan konflik tersendiri, tapi sepertinya sutradara memilih fokus kepada tiga pemeran perempuan. *Apa saya aja ya yang jadi sutradara :p*


Over all, keren lah filmnya. Worthed untuk ditonton....
»»  Selengkapnya...

Monday, January 30

Jangan Pernah Meninggalkan Partnermu


Sutradara: Alex Kendrick dan Stephen Kendrick
Produser : Michael Catt, Jim McBride, David Nixon / Sherwood Pictures and Provident Films
Pemain : Kirk Cameron, Erin Bethea, Alex Kendrick, Bailey Cave, Jason McLeod, Tommy McBride, Jim McBride, Janet Lee Dapper, Ray Wood, etc



Never leave your partner behind, especially on fire” (Fire Proof, 2008)


Dalam satu kata, film ini romantis. Tontonan yang bagus untuk pasangan, baik yang baru menikah dan masih berbulan madu, hingga pasangan yang sudah lama menikah dan menemukan kehampaan dalam hidup berkeluarga mereka. Tontonan yang sangat baik terutama bagi mereka yang menyepelekan arti pernikahan.


Film ini memang bercerita tentang api. Api secara harfiah karena sang tokoh, Kapten Caleb Holt, adalah seorang pemadam kebakaran; juga api secara kiasan karena pernikahannya sedang dalam kobaran ‘api’. Ungkapan untuk tidak meninggalkan partner kita, apalagi dalam api (keadaan bahaya), adalah doktrin yang selalu Caleb gemakan untuk dirinya serta timnya. Dalam film ini ia menunjukkan bahwa ungkapan itu juga berguna untuk menyelamatkan keluarganya.


Walaupun Caleb terbilang sukses menjadi pemadam kebakaran, di sisi lain, pernikahannya sedang diujung tanduk. Setelah sekian lama menikah dan tidak dikaruniai anak, mereka mulai menemukan kesibukan masing-masing. Gairah mulai hilang, sang suami tidak merasa nyaman berada di rumah, sang istri tidak merasa dihargai dan dicintai.... Lalu mereka hendak menyerah. Tapi dengan saran dari Ayahnya yang religius, Caleb bersedia menerima tantangan 40 hari dalam “Love Dare”.


Perubahan tidak pernah mudah, dan itu pula yang dialami Caleb. Dalam tantangan 40 hari tersebut, Caleb sedikit demi sedikit harus berubah. Mulai dari tidak membantah saat istrinya marah, menanyakan kabar teman-temannya, membantu membereskan rumah, berbelanja keperluan dapur, membelikan bunga, makan siang, hadiah, dst. One per day. Sulit memang, terutama dengan ego seorang suami yang merasa harus dihormati, dan Caleb hampir menyerah karena istrinya belum juga menunjukkan tanda-tanda berbaikan. Dengan adanya orang ketiga yang muncul dalam perkawinan mereka, masalah ekonomi dan religiusitas, membuat film ini memiliki jalan cerita yang menyentuh. Endingnya memang sangat bisa ditebak, another happy ending sebagaimana film romantis, tapi paling tidak membuat penonton merenungi kembali niat mereka dalam menjalani pernikahan.


Film ini memang dibuat sangat religius, terutama bagi umat Kristiani. Ada beberapa landasan agama yang diangkat, walaupun tidak mendominasi dan mengubah esensi dari filmnya. Pesannya jelas terbaca: membuat orang percaya kembali dengan lembaga pernikahan, bahwa kita bisa bahagia bukan karena pasangan kita sempurna, tapi karena saling menerima. Mungkin kalau bahasa Al-Qur’annya adalah “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al-Baqarah:187)” Saling melengkapi, saling memberi dan meneriman, saling menutupi aib pasangan. Tidak ada pernikahan yang tidak ada konflik, tapi agama hadir memang untuk menyelaraskan dan mencari jalan keluar. Jadi, never leave your partner behind, especially on fire.
»»  Selengkapnya...

Penerimaan yang Indah



Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang: Tere-Liye
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama: Juni, 2010
Jumlah Halaman: 264 hlm
ISBN: 978 - 979 - 22 - 5780 - 9
Harga: Rp 32.000


Buku kesekian Tere-Liye yang saya baca. Seperti biasa, tema yang diangkat sederhana dan tersebar dimana-mana. Ceritanya pun sangat mudah dicerna. Tapi diksinya, subhanallah, membuat saya merenung dalam..

Kali ini ceritanya tentang cinta. Ya, CINTA. Tema klasik yang akan selalu ramai diusung mungkin hingga akhir zaman kelak. Tania, sang tokoh utama, menceritakan kisah cintanya sendiri. Cinta yang tumbuh diawali dengan rasa terima kasih dan kagum. Cinta pertamanya, cinta sejak ia masih berkepang dua! Novelet ini sebagian besar beralur flash back. Framenya sangat simpel: jendela di lantai dua toko buku paling besar yang ada di kota kelahirannya. Tania menghabiskan waktu di tempat kenangannya, sambil merenungi perjalanan hidupnya, lebih tepatnya, perjalanan cintanya.

Alurnya sangat teratur, tidak terlalu cepat atau lambat. Berawal dari pertemuan Tania dan adiknya, Dede, dengan sang malaikat –yang kemudian menjelma menjadi cinta sejatinya. Malaikat inilah yang menyelamatkan Tania dan Dede dari kejamnya kehidupan jalanan. Ia memberi mereka janji tentang masa depan. Sepasang anak pengamen dekil disulap menjadi permata, menoreh prestasi dimana-mana. Tania sendiri sejak SMP hingga kuliah mendapatkan beasiswa ke Singapura, dan lulus sebagai lulusan terbaik.

Tapi ternyata rasa terima kasih dan kagum itu tidak bisa berjalan di jalurnya, ia berubah menjadi benih cinta. Entah bagaimana dan sejak kapan, Tania akhirnya menyadari bahwa ia jatuh cinta pada sang malaikat. Sayang, gayung tidak bersambut. Atau tepatnya, ia menganggapnya tidak bersambut. Hingga suatu hari dimana sang malaikat memutuskan untuk menikah, perasaan Tania hancur. Tania berubah menjadi orang lain, melakukan hal-hal yang tidak ia sukai, walaupun dia tetap bisa menjaga energi dendamnya dalam hal yang produktif. Setelah dua tahun sejak pernikahan tersebut, ia memutuskan pulang. Dan itu mengubah segalanya...

Bagian penutupnya mudah ditebak (paling tidak bagi saya). Entah akhir yang bahagia, atau sedih. Itu tergantung pada persepsi pembaca. Yang jelas, memang cinta selalu menang. Cinta akan selalu menang, walau cinta tidak harus memiliki. Cinta yang menerima setulusnya, cinta yang tidak egois, cinta yang tidak mencoba berbahagia di atas perih orang lain.

Salut untuk Bang Tere!


“Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah
Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar
Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahaman itu datang
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya
Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana
Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima”

(Monolog Dede di pusara Ibu dalam ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’, hlm. 196-197)
»»  Selengkapnya...

Kebetulan yang Menjadi Cinta



Judul Korea: Neon Naege Banhaesseo
Judul Inggris: Heartstrings (You’ve Fallen for Me)
Tahun rilis: 2011
Genre: romance, music, friendship
Pemain: Jeong Yong Hwa, Park Shin Hye, Song Chang Ui, So Yi Hyun, Woo Ri
Sutradara: Pyo Min Soo
Jumlah episode: 15

Film ini really grabbed my attention. Film yang menurut saya bagus, adalah film yang akan saya putar ulang dan tonton berkali-kali. Heartstrings, sejak saya beli CDnya enam bulan lalu, sudah lebih dari 5 kali saya tonton. Beberapa kali hanya mengulang bagian tertentu, pernah juga hampir saya ulang semua episode ^_^.  Sebagian besar adegan saya hafal, untung saja belum berniat menghafal lagu soundtracknya  –selain ga ngerti bahasanya, buat apa juga. Hihihi... Satu lagi, film ini juga berkontribusi terhadap rusaknya DVD player saya  T_T


====


Seperti kebanyakan film seri Korea, tema yang diangkat pada film ini juga cinta. Lee Kyu Won(Park Shin Hye) adalah seorang mahasiswa jurusan musik tradisional yang menguasai alat musik gayageum. Sementara Lee Shin (Jeong Yong Hwa) mengambil jurusan musik terapan di universitas yang sama dengan Kyu Won. Lee Shin juga merupakan gitaris utama dan vokalis pada grup band ‘The Stupid’ yang merupakan idola di kampus mereka. Pada awalnya Kyu Won menganggap Shin orang yang sombong dan tidak peduli pada orang lain. Tapi ketika Kyu Won kalah taruhan dan terpaksa menjadi budak Shin selama satu bulan, ia melihat sisi lain dari Shin. Lalu entah sejak kapan, Kyu Won menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Shin.

Interaksi awal mereka di kampus dimulai saat Kyu Won sebagai perwakilan dari jurusannya, mengundang The Stupid untuk mengisi satu acara amal. Tapi saat itu Shin yang kebetulan harus mendampingi adiknya di rumah sakit, terpaksa mengingkari janjinya. Kyu Won yang merasa bertanggung jawab terhadap para pengunjung yang telah hadir dan membeli tiket, terpaksa naik panggung untuk menggantikan Shin bernyanyi. Pada saat yang sama hadir seorang sutradara Kim Seok Hyeon (Song Chang Ui) yang melihat bakat terpendam Kyu Won. Sutradara Kim kemudian mengajak Kyu Won untuk mengikuti audisi drama musikal yang akan diadakan dalam rangka 100 tahun usia universitas mereka. Pada awalnya Kyu Won menolak, tapi dengan dorongan dari Shin ia pun tertarik untuk mengikuti audisi drama ini.

Sutradara Kim juga meminta The Stupid untuk mengisi drama musikal tersebut. Ketika tahu bahwa yang bertanggung jawab terhadap koreografer dari drama tersebut adalah Jeong Yun Su (So Yi Hyun), Shin setuju untuk berpartisipasi. Shin memang sudah lama menyukai guru tarinya tersebut. Namun Yun Su masih menyimpan cinta lamanya terhadap sutradara Kim.

Drama musikal ini membingkai hampir seluruh alur cerota. Mulai dari audisi, latihan-latihan, intrik dan rumor yang mengiringinya, hingga pertunjukkan akhir mereka, semua diceritakan sebagai latar kisah kasih antara Shin dan Kyu Won, juga persaingan antara Kyu Won dan Han He Joo (Woo Ri) untuk menjadi pemeran utama. Shin yang jatuh cinta lalu kemudian patah hati pada gurunya, menemukan kenyamanan saat bersama dengan Kyu Won. Apalagi interaksi mereka semakin intens sejak Shin ditugaskan untuk mengerjakan lagu penutup dengan bantuan Kyu Won. Kyu Won yang mempunyai karakter mudah berteman, baik terhadap semua orang dan tulus dalam mengerjakan apapun, akhirnya bisa meruntuhkan dinding hati Shin untuk menerima kehangatan hatinya. Sayangnya, Kyu Won sudah terlanjur putus asa untuk meraih cinta Shin karena ia menganggap Shin masih mencintai Yun Su.

Bagaimana kelanjutan kisah cinta mereka? Bisakah Shin membuat Kyu Won jatuh hati lagi padanya? Bagaimana pula pertunjukan drama musikal mereka yang hampir digagalkan tersebut, apakah akan sukses? Bisakah Kyu Won mengalahkan He Joo untuk menjadi pemeran utama? Selepas drama musikal, Kyu Won mendapat kejutan lain yang membuatnya berpikir ulang tentang jalan hidupnya. Apakah kejutan tersebut, bagaimana pula Shin dan Kyu Won akan menerimanya? Nonton sendiri ya biar seru  ;)

Keunggulan film ini menurut saya ada di dua hal, yaitu lagu-lagu yang dipilih menjadisoundtracknya, dan akting para pemain yang sangat ‘wajar’. Pemilihan musik yang pas dengan adegan, menjadi satu kunci penting untuk menyampaikan pesan yang diinginkan sang pembuat film pada penontonnya. Film ini sebagian besar dilatari musik, bahkan ending yang sangat penting bagi Kyu Won dan Shin pun, hanya diselingi sedikit dialog, dan didominasi musik yang melatari perdebatan hati mereka. Beberapa adegan penting juga, hanya diwarnai musik. Seperti saat Kyu Won menyadari bahwa ia sudah patah hati dan memutuskan untuk melupakan Shin, atau saat Kyu Won harus dikeluarkan dari drama musikal, saat Shin kehilangan ayahnya, saat Shin menyadari kehangatan hati Kyu Won, dst. Musik yang dipilih sangat ‘pas’ dan mempengaruhi perasaan penontonnya.

Keunggulan kedua, kewajaran akting para pemain. Ini juga merupakan satu kelebihan serial Korea jika kita bandingkan dengan sinetron lokal. Akting yang sangat keseharian, tidak terlihat dibuat-buat, membuat cinta Kyu Won dan Shin terlihat ‘sederhana’ tapi dalam. Berbeda dengan film Holywood yang sangat sering melibatkan 'cinta dewasa', film ini menunjukkan bahwa ekspresi cinta tidak melulu harus seksualitas. Saat googling untuk mencari kelengkapan resensi ini, saya baru tahu kalau film ini adalah besutan Pyo Min Soo, yang juga  menyutradarai serial favorit saya yang lain, Full House (2004).

Kalo boleh menilai kekurangan, bagi saya endingnya kurang rame  Memang sih happy ending, tapi ada sedikit rasa gereget yang kurang (maaf, ga kan cerita ending soalnya nanti jadi spoiler). Ada beberapa detil yang dilupakan dan bagi saya itu agak mengganggu, contohnya saat Shin memutuskan untuk putus dari Kyu Won. Ekspresi kesedihan yang mereka berdua rasakan kurang ‘nampol’, kesannya terburu-buru dan ‘begitu saja’. Tiba-tiba saja Kyu Won sudah bisa mengatasi kesedihan tersebut (waktu langsung lompat ke satu tahun berikutnya). Juga terkait pertemuan pertama antara Kyu Won dan Shin di Pulau Jeju, rasanya hampir tidak ada hubungan dengan keseluruhan cerita. Ada juga beberapa detil yang ga terlalu mengganggu, tapi gapapa sih, bisa membuat saya berimajinasi tentang ‘kekosongan’ tersebut.

Menonton film bagi saya melatih imajinasi dan intuisi, selain juga dari film kadang saya temukan hal-hal menarik untuk bahan tulisan.. Namun tidak jarang, film hanya menjadi alat saya untuk memanjakan diri saat tugas sudah selesai

Overall, saya kasih nilai 4.5 dari 5 yaaa... Uhuuuy... Film ini highly recommended untuk penyuka drama. Silahkan cari CDnya di toko-toko langganan anda, atau download juga bisa....



~ saatnya beralih nonton yang lain
»»  Selengkapnya...

Persahabatan Lintas Pagar



Judul buku:  Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis
Judul asli: The Boy in the Striped Pyjamas
Pengarang: John Boyne
Alih bahasa: Rosemary Kesauli
Tahun terbit: 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 233


Ini adalah yang tertulis di bagian belakang buku: “Kisah tentang Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis ini sulit sekali digambarkan. Biasanya kami memberikan ringkasan cerita di sampul belakang buku, tapi untuk kisah yang satu ini sengaja tidak diberikan ringkasan cerita, supaya tidak merusak keseluruhannya. Kalau Anda membaca buku ini, Anda akan mengikuti perjalanan seorang anak lelaki berumur sembilan tahun bernama Bruno. (Meski buku ini bukanlah buku untuk anak kecil.) Dan cepat atau lambat, Anda akan tiba di sebuah pagar, bersama Bruno. Pagar seperti ini ada di seluruh dunia. Semoga Anda tidak pernah terpaksa dihadapkan pada pagar ini dalam hidup Anda.”
****

Anda pasti penasaran dengan “ringkasan” tersebut bukan? Buku seperti apa yang akan merusak cerita  jika diberikan ringkasan? Hal inilah yang membuat saya tanpa pikir panjang langsung menghabiskan malam bersama buku ini. Sangat penasaran. Dan dugaan saya tepat, buku yang sulit untuk diungkap dengan kata-kata. Emosi pembaca dimainkan sepanjang cerita, dengan dugaan-dugaan yang menyesakkan dada. Dari judulnya, mungkin Anda sudah bisa menebak konotasi apa yang terkait dengan “piama garis-garis”. Tapi saya tidak akan memberi pembenaran pada dugaan Anda,  tidak sekarang.

Buku ini berkisah tentang seorang anak bernama Bruno, berusia sembilan tahun dan tumbuh pada masa Perang Dunia II. Kisah dimulai saat keluarga Bruno, tanpa boleh banyak bertanya, harus pindah dari rumah mereka di Berlin dan menempati rumah besar lainnya di Out-With. Bruno yang sejak awal menentang kepindahan ini, semakin menderita saat ia tahu bahwa di rumah barunya, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada rumah tetangga. Tidak ada taman. Tidak ada anak-anak bermain sepeda. Yang lebih parah, tidak ada tempat bermain. Eh, tunggu. Ternyata disini ada tempat bermain. Tempat itu sangat luas, tak jauh dari rumah Bruno, dan ia bisa melihat disana banyak anak-anak. Penampilan mereka sama: berkepala botak, dan berpiama garis-garis. Tapi sayangnya, tempat luas itu mempunyai pagar yang tinggi. Dan setiap Bruno hendak bertanya kepada siapapun yang ada di rumahnya tentang pagar-pagar itu, tidak ada yang mau menjawab. Apalagi jika pertanyaan Bruno berbunyi: “Mengapa mereka berpiama garis-garis?”

Bruno semakin merasa bosan di Out-With. Apalagi setiap hari rumah mereka didatangi orang-orang dewasa berwajah sangar. Menurut Maria sang pelayan di rumah, orang-orang sangar itu adalah anak buah Ayah Bruno. Tidak jarang, ada orang dewasa lain yang membuat ayah terbungkuk-bungkuk menghormatinya. Mereka datang dengan mobil bagus, berbendera merah-hitam, dengan lambang dua swastika. Dan mereka selalu bertemu ayah di dalam ruangan yang Bruno dilarang mendekatinya. Ia semakin bosan.

Kebosanan membuat naluri lama Bruno bangkit. Ia pun menjelajah. Hal yang sangat dilarang di Out-With ini. Menjelajah. Dan Bruno melanggarnya. Ia menyusuri pagar tinggi itu. Ia juga tidak mengerti apa yang ingin ia temui. Setelah dua jam perjalanan, ia hampir menyerah. Dan saat ia ingin berbalik kembali ke rumahnya, ia menemukan sesuatu. Seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu duduk bersila. Di balik pagar sebelah sana. Duduk dengan pandangan kosong, seakan menunggu seseorang menemukannya. Dan seperti penghuni lain di balik pagar sebelah sana, Shmuel, nama anak itu, berkepala botak, berpiama garis-garis, dan tanpa sepatu. Ia mengenakan gelang tangan –yang menurut Bruno keren– dengan gambar bintang dari dua segitiga berlawanan arah.

Dimulailah persahabatan itu. Persahabatan antara dua anak laki-laki,  dari dua sisi pagar yang berbeda. Hampir setiap hari Bruno bertemu dengan Shmuel, berbagi cerita tentang dunia anak laki-laki. Bertanya-tanya, apa kegiatan Shmuel di balik pagar sebelah sana. Tentu saja Bruno bahagia, ia menemukan teman. Shmuel yang hampir percaya pada Bruno, karena satu insiden harus membuang jauh rasa percayanya. Dan Bruno yang saat itu hanya ingin punya teman, punya satu cara jitu untuk meyakinkan Shmuel, ia HARUS merasakan kehidupan di pagar sebelah sana. Keputusan yang mengakhiri semuanya. Tapi Bruno tidak salah, tidak juga Shmuel, mereka hanyalah anak laki-laki.

Jika Anda tidak ingin merusak keasyikan membaca novel ini, saya sarankan berhenti membaca resensi saya disini, karena selanjutnya saya akan menjelaskan tentang apa novel ini sebenarnya. Uh, sangat tidak seru.
****

Novel ini, sangat sarkas tis. Oke, dugaan Anda benar. Novel ini berkisah tentang kejahatan Nazi terhadap para Yahudi. Atau setidaknya begitulah ‘kebenaran’ versi dunia. Walau ternyata diketahui kemudian bahwa Hitler pun orang Yahudi, dan ia membantai hanya para Yahudi keturunan dalam tragedi itu. Pembantaian yang kemudian menjadi pembenaran bagi segelintir orang Yahudi untuk meraih simpati dunia dan merampas tanah orang lain, mendirikan negara Israel.

Novel ini mengambil latar di kamp pengungsian Yahudi terbesar di Auschwitz, Polandia. Tempat salah satu pembunuhan massal, holocaust, terjadi. Kentara sekali kegelisahan yang dirasakan penulis sepanjang cerita. Melalui deskripsi-deskripsi yang diberikan, kata-kata Bruno, maupun pemikirannya, terlihat jelas kebencian penulis terhadap sebuah “pagar”. Pagar yang membedakan ras, strata sosial, bahkan lebih jauh lagi, agama dan kepercayaan. Dengan sinis ia menggambarkan sosok The Fury (plesetan dari Deh Fuhrer, nama lain Adolf Hitler), isi kamp pengungsian dan penindasan yang dialami para Yahudi, dan bagaimana seorang non-Yahudi , dalam hal ini keluarga Bruno, memperlakukan para orang berpiama garis-garis. Membaca novel ini sangat menyesakkan, walaupun bukan tipe buku yang bisa membuat orang menangis seperti saat mengupas bawang. Dengan ending yang cukup menghentak, ia menghantar pesan luar biasa bahwa diskriminasi adalah sesuatu yang sangat tidak manusiawi. Melalui tutur seorang anak, novel ini hendak mengingatkan kepada kita –orang dewasa– bahwa sesungguhnya setiap manusia mempunyai naluri keadilan. Terkadang karena kerasnya kehidupan, kita tidak bisa lagi merasakan dan mengikuti naluri itu.

Mohon maaf saya tidak bisa menilai kekurangan dari buku ini, karena memang tidak bisa menemukannya. Bagi saya, buku ini cukup baik dalam menempatkan Bruno sebagai anak-anak, walaupun pesan yang ditujukan memang untuk orang dewasa. Penulis tidak terjebak untuk membuat Bruno sebagai “orang dewasa yang terkurung dalam tubuh anak-anak”. Pikiran-pikiran Bruno, tingkah lakunya dan kata-katanya adalah murni dan kewajaran masa kanak-kanak, lebih karena nurani seorang manusia yang belum terkotori dengan doktrin ketidakadilan.  Pada akhir novelnya penulis kembali menuliskan sindiran pada dunia: “Dan itulah akhir cerita tentang Bruno dan keluarganya. Tentunya semua itu sudah lama terjadi dan peristiwa seperti ini takkan terulang lagi. Tidak pada zaman seperti sekarang (hal 233)”.

Novel ini tidak terlalu tebal, ringan saat dibaca walaupun sarat dengan pesan. Penulisnya, John Boyne bisa dikatakan sebagai seorang penulis yang sukses di dua genre: dewasa dan anak. Boyne menulis beberapa buku best seller dalam kedua genre tersebut. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 43 bahasa, ia menjadi salah satu buku best seller versi New York Times dan di beberapa negara lain seperti UK, Austria, Irlandia, dsb. Menurut situs resmi sang penulis, hingga saat ini sudah terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia. Walau demikian, buku ini tetap mendapat kritik pedas. Beberapa kalangan menganggap penulis tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di dalam kamp, terutama karena tidak mungkin ada seorang anak –berusia 8 tahun – disana. Tapi biar sajalah anjing menggonggon, kafilah tetap berlalu. Tidak butuh waktu lama, sejak terbitan pertamanya di 2006 (buku asli), untuk kemudian cerita ini diangkat ke layar lebar pada tahun 2008 dengan judul yang sama. Dan menyusul kesuksesan bukunya yang mendapat beberapa penghargaan, filmnya pun demikian. Tapi jujur saja hingga saat ini saya belum berani menontonnya. Tidak sanggup untuk merasakan hal yang sama saat membacanya. Tidak dua kali.
»»  Selengkapnya...