Monday, January 30

Penerimaan yang Indah



Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang: Tere-Liye
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama: Juni, 2010
Jumlah Halaman: 264 hlm
ISBN: 978 - 979 - 22 - 5780 - 9
Harga: Rp 32.000


Buku kesekian Tere-Liye yang saya baca. Seperti biasa, tema yang diangkat sederhana dan tersebar dimana-mana. Ceritanya pun sangat mudah dicerna. Tapi diksinya, subhanallah, membuat saya merenung dalam..

Kali ini ceritanya tentang cinta. Ya, CINTA. Tema klasik yang akan selalu ramai diusung mungkin hingga akhir zaman kelak. Tania, sang tokoh utama, menceritakan kisah cintanya sendiri. Cinta yang tumbuh diawali dengan rasa terima kasih dan kagum. Cinta pertamanya, cinta sejak ia masih berkepang dua! Novelet ini sebagian besar beralur flash back. Framenya sangat simpel: jendela di lantai dua toko buku paling besar yang ada di kota kelahirannya. Tania menghabiskan waktu di tempat kenangannya, sambil merenungi perjalanan hidupnya, lebih tepatnya, perjalanan cintanya.

Alurnya sangat teratur, tidak terlalu cepat atau lambat. Berawal dari pertemuan Tania dan adiknya, Dede, dengan sang malaikat –yang kemudian menjelma menjadi cinta sejatinya. Malaikat inilah yang menyelamatkan Tania dan Dede dari kejamnya kehidupan jalanan. Ia memberi mereka janji tentang masa depan. Sepasang anak pengamen dekil disulap menjadi permata, menoreh prestasi dimana-mana. Tania sendiri sejak SMP hingga kuliah mendapatkan beasiswa ke Singapura, dan lulus sebagai lulusan terbaik.

Tapi ternyata rasa terima kasih dan kagum itu tidak bisa berjalan di jalurnya, ia berubah menjadi benih cinta. Entah bagaimana dan sejak kapan, Tania akhirnya menyadari bahwa ia jatuh cinta pada sang malaikat. Sayang, gayung tidak bersambut. Atau tepatnya, ia menganggapnya tidak bersambut. Hingga suatu hari dimana sang malaikat memutuskan untuk menikah, perasaan Tania hancur. Tania berubah menjadi orang lain, melakukan hal-hal yang tidak ia sukai, walaupun dia tetap bisa menjaga energi dendamnya dalam hal yang produktif. Setelah dua tahun sejak pernikahan tersebut, ia memutuskan pulang. Dan itu mengubah segalanya...

Bagian penutupnya mudah ditebak (paling tidak bagi saya). Entah akhir yang bahagia, atau sedih. Itu tergantung pada persepsi pembaca. Yang jelas, memang cinta selalu menang. Cinta akan selalu menang, walau cinta tidak harus memiliki. Cinta yang menerima setulusnya, cinta yang tidak egois, cinta yang tidak mencoba berbahagia di atas perih orang lain.

Salut untuk Bang Tere!


“Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah
Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar
Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahaman itu datang
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya
Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana
Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima”

(Monolog Dede di pusara Ibu dalam ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’, hlm. 196-197)

No comments:

Post a Comment